I’tikaf di sepuluh hari akhir adalah salah satu soal terutama dalam acara Ramadhan. I’tikaf ini bermanfaat dalam rencana “memaksakan” diri untuk dapat lebih optimal kembali dalam ibadah dibulan Ramadhan. Lebih-lebih lagi bertambah ke ujung, Allah SWT telah persiapkan pahala besar lewat didatangkannya malam Lailatul Qadr.
I’tikaf secara bahasa bermakna mengungkung diri, sedang secara istilah pengetahuan fiqih kerap diasumsikan dengan diam diri di mushola dari seorang yang tertentu dibarengi tekad. Sama dengan yang udah diterangkan oleh Ibnu Al-Mundzir bila hukum I’tikaf itu yaitu sunnah serta bukan mesti, kecuali tersedianya seorang yang menazarkan baru jadi harus hukumnya. Tapi kesunnahan I’tikaf ini terutama kembali disepuluh hari diakhir dalam bulan Ramadhan.
Untuk persyaratan menjalankan I’tikaf ini beberapa ulama fiqih menuturkan ada tiga kriteria spesial yakni :
1. Islam.
2. Berakal.
3. Suci dari Hadats Besar.
Jadi orang yang berhadats besar tidak diperbolehkan buat ada di dalam mushola, sesuai firman Allah SWT yang mengeluarkan bunyi “Hai orang orang yang mempunyai iman jangan sampai kamu salat sedang kamu pada situasi mabok maka kamu pahami apa yang kamu katakan (tidak boleh juga hampiri mushola) tengah kamu pada kondisi junub kecuali semata-mata berakhir saja sampai kamu mandi”. (QS. An-Nisa : 43).
Serta pribadi untuk wanita yang tengah haid dan nifas tidak juga dibolehkan mengerjakan I’tikaf. Rasulullah SAW bersabda : Dari Aisyah RA berbicara kalau Rasulullah SAW bersabda “Tidak ku halalkan mushola untuk orang yang haid serta junub”. (HR. Abu Daud).
Dan buat rukun I’tikaf, berikut di bawah ini penuturannya :
1. Niat
Seperti beribadah ibadah yang lain, sebagian besar ulama berkata bila satu diantara rukun terpenting dalam I’tikaf ialah kemauan. Maka karena ada niat ini maka bisa ada pemisah di antara mereka yang akan beri’tikaf serta yang tak. Rasulullah SAW bersabda : “Benar-benar tiap-tiap pekerjaan itu terkait pada tekad dan tiap orang akan mendapat sama dengan apa yang udah diniatkan”. (HR. Muslim).
2. Berdiam Diri Di Mushola
Pokok dari melakukan I’tikaf ini sama dengan berarti adalah diam diri atau menahan diri di mushola untuk mendekatkan pada Allah SWT, tentunya diam diri yang diterangkan tempatnya di sini itu di mushola, bukan di area yang yang lain. Waktu diam diri di mushola ini baiknya mereka banyak mu’tafikin atau orang orang yang beri’tikaf itu mengoptimalkan serangkaian ibadahnya seperti shalat penting, shalat shalat sunnah, melakukan zikir, membaca Al-Quran, dan lainnya. Mereka beberapa mu’tafikin seharusnya tidak perbanyak tidur, atau bercakap kata yang tak ada fungsinya, atau bahkan juga repot main main dengan gadgetnya.
Dan waktu terunggul buat melakukan I’tikaf ini dapat dalam bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Kalau menjalankan I’tikaf dalam bulan Ramadhan, jadi secara waktu memanglah afdhalnya itu mulai pada sepuluh hari paling akhir Ramadhan, serta masuk dalam masjidnya sebelumnya maghrib saat malam ke 21 Ramadhan dan keluar dari mushola saat malam Idul Fitri. Meskipun waktu malam Idul Fitri itu dianggap lebih afdhal selalu untuk ada di dalam mushola sampai paginya keluar ke tanah lega bila akan mengerjakan shalat id di dalam lapangan.
Dengan mengenal makna, hukum, kriteria, rukun, serta waktu terpilih beri’tikaf, mudah-mudahan bisa selekasnya mengerjakan I’tikaf yang bagus. Bila sudah melakukan I’tikaf secara teratur, semestinya masih lengkapinya dengan beribadah yang lain seperti bersedekah.